Rabu, 13 November 2013

Filologi dan Sastra Klasik


FILOLOGI DAN SASTRA KLASIK



FILOLOGI

Etimologi Kata Filologi
Filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia. Philologia berasal dari dua kata, yaitu philos yang berarti ‘teman’ dan logos yang berarti ‘pembicaraan atau ilmu’. Berdasarkan etimologinya, dua kata tersebut kemudian membentuk arti ‘senang berbicara’ atau ‘senang ilmu’. Arti ini kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang kepada ilmu, dan senang kepada hasil-hasil karya-karya tulis yang bermutu tinggi, seperti karya sastra.

Istilah Filologi
Filologi sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Erastothenes, dan  kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah sejak abad ke-3 S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan bentuk asli teks-teks lama Yunani. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi yang sangat luas, dan selalu berkembang.
a.      Filologi sebagai Imu Pengetahuan
Filologi pernah disebut sebagai L’etalage de savoir ‘pameran ilmu pengetahuan’. Hal ini dikarenakan filologi membedah teks-teks klasik yang mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran kehidupan masa lampau, berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian filologi. Termasuk di dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi macam bidang ilmu.
b.   Filologi sebagai Ilmu Sastra
Filologi juga pernah dikenal sebagai ilmu sastra. Hal ini dikarenakan adanya kajian filologi terhadap karya-karya sastra masa lampau, terutama yang bernilai tinggi. Kajian filologi semakin merambah dan meluas menjadi kajian sastra karena mampu mengungkap karya-karya sastra yang bernilai tinggi.

c.      Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Teks-teks masa lampau yang dikaji dalam filologi, menggunakan bahasa yang berlaku pada masa teks tersebut ditulis. Oleh karena itu, peranan ilmu bahasa, khususnya linguistik diakronis sangat diperlukan dalam studi filologi.

d.      Filologi sebagai Studi Teks
Filologi sebagai istilah, juga dipakai secara khusus di Belanda dan beberapa negara di Eropa daratan. Filologi dalam pengertian ini dipandang sebagai studi tentang seluk-beluk teks, di antaranya dengan jalan melakukan kritik teks.

Filologi dalam perkembangannya yang mutakhir, dalam arti sempit berarti mempelajari teks-teks lama yang sampai pada kita di dalam bentuk salinan-salinanya dengan tujuan menemukan bentuk asli teks untuk mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Filologi dalam arti luas berarti mempelajari kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 277) istilah filologi diartikan sebagai ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis. Berbicara mengenai filologi, Soebadio (1991: 3) menyatakan bahwa filologi adalah teknik telaah yang menyangkut masalah-masalah dalam naskah lama. Filologi juga dapat diartikan sebagai telaah sastra (kesusastraan) dan ilmu (disiplin) yang berkaitan dengan sastra atau bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Tetapi dalam perkembangannya telaah dengan teknis filologi kemudian mendapat arti jangkauan yang lebih luas, yaitu dihubungkan dengan masalah-masalah kebahasaan secara umum, termasuk bidang-bidang yang kini digolongkan bidang linguistik, seperti tata bahasa, semantik, dan lain-lain.
Dewasa ini pengertian filologi telah menjadi lebih luas dan terarah, yaitu meliputi telaah mengenai bahasa yang digunakan manusia (human speech), terutama bahasa sebagai wahana sastra dan sebagai bidang studi yang dapat memberi kejelasan mengenai sejarah kebudayaan (Soebadio, 1991: 3).

Di Indonesia, yang dalam sejarahnya banyak dipengaruhi oleh bangsa Belanda, arti filologi mengikuti penyebutan yang ada di negara Belanda, yaitu suatu disiplin yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaan.
Filologi di Indonesia diterapkan pada teks-teks yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. naskah yang mendukung teks dalam bahasa-bahasa tersebut  terdapat pada kertas atau lontar.
Filologi dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 27), didefinisikan sebagai “ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya, atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”.
Djamaris (1977: 20) memberikan pengertian yang lebih spesifik mengenai filologi. Filologi diartikan sebagai suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip kuna.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian filologi  secara luas, adalah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa yang meliputi bahasa, sastra, seni, dan lain-lain. Perkembangan tersebut dipelajari melalui hasil budaya manusia pada masa lampau berupa manuskrip-manuskrip kuna yang kemudian diteliti, ditelaah, dipahami, dan ditafsirkan. Pengertian-pengertian filologi di atas, menggambarkan keluasan jangkauan analisis filologi.

B.     Objek Filologi
Sasaran kerja penelitian filologi adalah naskah, sedangkan objek kerjanya adalah teks (Baried, 1994: 6). Oleh karena itu, perlu dibicarakan hal-hal mengenai seluk-beluk naskah dan teks.
1.      Pengertian naskah     
Naskah merupakan objek kajian filologi berbentuk riil, yang merupakan media penyimpanan teks. Baried (1994: 55), berpendapat bahwa naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Darusuprapta (dalam Surono 1983: 1), memberikan definisi, bahwa naskah sering disamakan dengan teks yang berasal dari bahasa Latin textua yang berarti ‘tulisan yang mengandung isi tertentu’.
Naskah juga dapat diberi pengertian sebagai semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan (Djamaris, 1977: 20). Naskah atau manuskrip, ditulis dengan bahan-bahan yang beragam. Baried (1985:6),  berpendapat bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk menulis naskah antara lain:
(1) karas yaitu papan atau batu tulis dengan alat yang dipakai untuk menulisi tanah; (2) daluwang, atau kertas Jawa dari kulit kayu; (3) bambu yang dipakai untuk naskah Batak; (4) kertas Eropa yang biasanya ada watermark atau cap air.

Ismaun (1996: 4) menyatakan bahwa:
Naskah daerah seperti naskah Sunda dibuat dari daun lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, dluwang, dan kertas. Naskah Jawa pada umumnya menggunakan lontar menggunakan bahan lontar (ron tal ‘daun tal’ atau ‘daun siwalan’), dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, dan kertas.
Bahan naskah (manuskrip) nampaknya tidak terbatas pada bahan-bahan tersebut di atas, bahkan bahan naskah di wilayah nusantara lebih beragam, seperti perkamen, kertas, bambu, lontar, kulit kayu, dan lain-lain.
Keterangan di atas dapat memberikan gambaran bahwa bahan naskah digolongkan dalam tiga golongan, antara lain: bahan mentah dari bambu, kulit kayu, rontal dan daun palem lainnya. Bahan setengah matang dengan proses sederhana, antara lain perkamen, dluwang, dan bahan matang dengan proses sempurna seperti kertas Eropa. Kertas Eropa ini, pada abad XVIII dan XIX mulai menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah di Indonesia. Alat yang digunakan untuk menulis naskah, disesuaikan dengan bahan yang akan ditulisi. Bahan naskah mentah biasanya menggunakan pisau.
Naskah lama yang ditulis atau disalin dengan tangan, dapat memberikan berbagai macam informasi mengenai naskah itu sendiri maupun penulis dan penyalin naskah yang bersangkutan. Informasi tersebut dapat dilihat dengan membandingkan: (1) keadaan tulisan. Tulisan yang jelas, rapi, indah, dan tidak mengandung banyak kesalahan menunjukkan hasil tulisan penulis atau penyalin yang berpengalaman, seperti penulis ahli pada istana raja; (2) keadaan bahan naskah yang dapat digunakan sebagai gambaran awal mengenai umur naskah (Soebadio, 1991: 4).

2.      Penggolongan Naskah
Keanekaragaman naskah tidak hanya terdapat pada unsur fisik naskah  seperti keanekaragaman bahan yang digunakan untuk menulis naskah, jenis tinta yang digunakan, keadaan tulisan naskah, dan lain-lain. Keanekaragaman juga terlihat dalam jenis-jenis naskah yang ditulis. Sebagai contoh, misalnya penggolongan naskah-naskah Jawa. Naskah Jawa sudah dikelompokkan dalam beberapa jenis. Penjenisan naskah adalah pengelompokan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu yang menjadi ciri kahas, sehingga berbeda dengan  yang lain. Namun harus dimaklumi, kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan sebuah naskah termasuk jenis mana, karena berbagai ragam yang dikandungnya.
Berikut ini adalah contoh-contoh penjenisan naskah Jawa berdasarkan beberapa katalog dan pendapat para ahli:
Daftar yang disusun oleh Pigeaud (dalam Soebadio 1991: 10) membagi naskah  menjadi beberapa macam, antara lain:
(1) naskah keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran agama dan kepercayaan; (2) naskah kebahasaan yang menyangkut ajaran bahasa-bahasa daerah. Ada juga naskah yang memberi pengajaran bahasa yang terselubung dengan memanfaatkan ajaran tata bahasa lewat cerita-cerita rakyat; (3) naskah filsafat dan folklore; (4) naskah mistik rahasia, dalam hal ini perlu diperhatikan secara khusus berbagai jenis naskah yang mengandung ajaran filsafat dan mistik yang tidak dimaksudkan untuk umum, melainkan hanya diajarkan kepada yang sudah termasuk kelompok “dalam” atau yang sudah dikenakan “inisiasi”; (5) naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral; (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum; (7) naskah mengenai keturunan dan warga raja-raja; (8) bangunan dan arsitektur; (9) obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan sebagainya; (10) perbintangan; (11) naskah mengenai ramalan; (12) naskah kesastraan, kisah epik (kakawin) dan lain sebagainya; (13) naskah bersifat sejarah (babad), dan sebagainya; (14) jenis-jenis lain yang  tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas.   
Behrend (1990: v-vii), mengelompokkan naskah berdasarkan jenis sastranya, antara lain:
(1)   sejarah; (2) silsilah; (3) hukum; (4) bab wayang; (5) sastra wayang; (6) sastra; (7) piwulang; (8) Islam; (9) primbon; (10) bahasa; (11) musik; (12) tari-tarian; (13) adat-istidadat; (14) lain-lain: teks-teks lain yang  tidak dimuat di bawah kategori-kategori lainnya.
Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Verde antara lain:
(1) Puisi Epis; (2) Mitologi dan Sejarah Legendaris; (3) Babad dan Kronik; (4) Cerita, Sejarah, dan Roman;  (5) Karya-karya Dramatis, Wayang, Lakon; (6) Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan; (7) Karya-karya Hukum, Kitab-kitab Undang-undang; (8) Ilmu dan Pelajaran: Tata Bahasa, Perkamusan, Pawukun (Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan; (9) Serba-serbi

Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Juynboll:
(1) Prasasti-prasasti dan Turunan-turunannya; (2) Syair Jawa Kuna (Kakawin); (3) Syair Jawa Pertengahan dan Metrum Tengahan; (4) Syair Jawa Pertengahan dengan  Metrum Macapat; (5) Syair Jawa Baru dengan  Metrum Macapat; (6) Prosa: Jawa Kuna; Jawa Pertengahan; Jawa Baru.

Katalogus Ricklefs–VoorhoevRicklefs dan Voorhoev menggolongkan naskah-naskah Jawa berdasarkan atas bahasa yang  digunakan seara kronologis atau dialektologis, sehingga terdapat penjenisan naskah Jawa sebagai berikut (1) Naskah-naskah Jawa Baru; (2) Naskah-naskah Jawa Pertengahan; (3) Naskah-naskah Jawa Kuna.
Naskah Jawa sendiri, jika digolongkan berdasarkan kandungan isinya, menurut Pigeaud dalam Soebadio (1991: 10), antara lain adalah:
a.      Naskah Keagamaan yang  meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran agama dan kepercayaan.
b.      Naskah Kebahasaan yang  menyangkut ajaran-ajaran bahasa-bahasa daerah.
c.      Naskah Filsafat dsan Folklore
d.      Naskah Mistik Rahasia
e.      Naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral
f.       Naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum
g.      Naskah mengenai keturunan dan warga raja-raja
h.      Naskah mengenai bagunan dan arsitektur
i.        Naskah mengenai obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang  berdsarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang  memberi petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan lain-lain.
j.        Naskah mengenai arti perbintangan. Naskah-naskah yang  bersangkutan lebih cenderung pada astrologi daripada astronomi.
k.      Naskah mengenai ramalan, penjelasan impian, dan tanda-tanda yang  terdapat pada tubuh manusia, hewan, dan lain-lain.
l.        Naskah kesastraan, kisah epik (kakawin), dan sebagainya. Naskah-naskah ini memberi informasi pula mengenai keadaan negara dan alam pada jaman naskah disusun.
m.    Naskah bersifat Babad (sejarah), dan lain-lain.
n.      Jenis-jenis lain yang  tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas.
          
Tujuan studi filologi dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum filologi yaitu: (1) memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis; (2) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya; (3) mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan.
Sedangkan tujuan khususya adalah: (1) menyunting sebuah naskah yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya; (2) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya; (3) mengungkap resepsi pembaca setiap kurun penerimaannya.
Tujuan Filologi
Secara khusus, studi filologi sebagai suatu disiplin ilmu, mempunyai tujuan kerja tertentu. Tujuan kerja filologi tersebut pada dasarnya bertitik tolak dari adanya berbagai bentuk variasi teks (Soeratno, 1990: 3). Cara pandang mengenai bentuk-bentuk variasi tersebut kemudian melahirkan dua konsep penelitian filologi, yaitu konsep filologi tradisional dan konsep filologi modern. Masing-masing konsep ini memiliki dua tujuan yang berbeda. Konsep filologi tradisional, memandang variasi secara negatif (sebagai bentuk korup). Oleh karena itu, penelitian filologi dengan konsep ini bertujuan untuk menemukan bentuk asli atau bentuk mula teks, maupun yang paling dekat dengan bentuk mula teks (Baried, 1994: 6-7).

SASTRA KLASIK
Sastra klasik adalah salah satu kajian ilmu filologi yang yang dibuat oleh masyarakat yang masih  dalam keadaan tradisional (masyarakat kuno) baik lisan maupun tulisan.
Sastra klasik merupakan bagian dari hasil pemilahan jenis-jenis naskah klasik yang terdiri atas, naskah yang berisi sejarah, naskah keagamaan, atau naskah obat-obatan, dan sebagainya.
Dilihat dari media bahasanya objek studi filologi adalah naskah klasik, dengan demikian menggunakan media bahasa tulis. Meskipun demikian ada pendapat bahwa studi filologi juga bisa mencakup peninggalan/karya dalam bentuk lisan. Pendapat ini didasari pemikiran bahwa tradisi bersastra bahkan berbudaya sudah dimulai sejak manusia belum mengenal tulisan. Bentuk pengawetan/pelestarian pada masa sebelum dikenal bahasa tulis adalah dengan penghafalan secara lisan dengan penyebaran secara leluri. Walaupun demikian, dalam studi filologis, peninggalan teks yang dikemas dalam bahasa lisan secara teknis akan melalui proses transkripsi ke dalam bentuk naskah atau bahasa tulis.

Sumber:
http://the-ladunni.blogspot.com/2012/06/filologi-sekilas-tentang-pengertian

1 komentar:

  1. trmksh, tp kira2 di Indonesia sdh bnyak yg menggunnnakan pendekatan ini blm u?

    BalasHapus